Turats atau yang lebih dikenal dengan sebutan kitab kuning oleh sebagian kelompok sering dianggap sebelah mata, karena dianggap kuno dan tidak bisa mengikuti perkembangan zaman. Namun apa sesungguhnya isi kitab kuning tersebut dan bagaimana relevansinya dengan pemahaman keagamaan sekarang ini, masih banyak yang belum memahaminya secara detail.
Kitab kuning adalah kitab-kitab keagamaan berbahasa Arab atau berhuruf Arab karya ulama salaf, ulama zaman dulu, yang dicetak dengan kertas kuning. Sebenarnya yang paling tepat disebut dengan kutub al-turats yang isinya berupa khazanah kreatifitas pengembangan peradaban Islam pada zaman dahulu.
Dalam khazanah tersebut terdapat hal-hal yang sangat prinsip yang kita tidak dapat mengabaikannya. Selain itu, khazanah tersebut juga terdapat hal-hal yang boleh kita kritisi, kita boleh tidak memakainya dan ada juga yang sudah tidak relevan lagi. Tetapi kalau yang namanya kitab usul fiqh, musthalah al-hadits, nahwu-sharaf, ilmu tafsir, ilmu tajwid itu semua adalah prinsip, mau atau tidak mau sekarang kita harus menggunakan kitab-kitab tersebut. Karena, misalnya, kita tidak bisa membaca teks Arab kalau tidak memakai nahwu-sharaf; kita tidak bisa membaca Al-Quran kalau tidak menggunakan ilmu tajwid; kita tidak bisa mengambil hukum dari Al-Quran dan al-Hadits kalau tidak menggunakan usul fiqih dan qawaid al-fiqhiyah. Adapun furu’-nya atau pengembangannya, kita dapat mensikapi dengan mengkritisinya. Walhasil, kita ini, pada zaman sekarang, harus taqlid, tetapi taqlid yang kreatif dan taqlid yang dinamis, karena tanpa taqlid kita tidak bisa berbuat apa-apa.
Kitab-kitab kontemporer sekarang ini tidak lepas dari kitab–kitab zaman dahulu. Siapapun penulis kitab-kitab kontemporer pasti merujuk pada kitab-kitab zaman dahulu, seperti Dr. Ali Saminasar, Dr. Abdul Chalid Badawi, Dr. Yusuf Qardawi, Dr. Harun Nasution, Dr. Nur Cholis Madjid dan lain sebagainya, semua itu tetap bersandar pada kitab turats. Artinya, dalam rangka menjaga orisinilitas kitab-kitab tersebut, maka kitab-kitab turats tersebut harus kita jaga. Adapun pengembangannya baru kita kontekstualkan dengan masa sekarang, seperti kitab fiqih, tapi itu pun masih ada aturannya. Cara mengembangkannya tidak sembarangan dan asal-asalan, harus mengikuti aturannya, seperti adanya qiyas (analogi) dan juga ilhaq yang dapat dijadikan titik temu antara persoalan baru dengan persoalan lama. Misalnya saja, narkoba atau sabu-sabu ya dapat kita qiyaskan dengan khamr. Tetapi ada juga yang sama sekali, sejak dari dulu sampai sekarang, tidak bisa diotak-atik. Ilmu nahwu, ilmu sharaf, musthalah hadits, ilmu Quran, ilmu tajwid semua itu kita tidak dapat menambah apa-apa lagi.
(Sumber : Prof. Dr. Said Agil Siraj, Ketua PBNU)
0 komentar:
Posting Komentar